√ Ketentuan Janji Nikah Berdasarkan Perundang-Undangan Di Indonesia

Pernikahan yaitu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang senang dan infinit berdasarkan ketuhanan yang maha Esa (UUP pasal 1).

Pernikahan yaitu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri √ Ketentuan Pernikahan Menurut Perundang-Undangan di Indonesia

1. Tujuan Pernikahan

Tujuannya yaitu membentuk keluarga yang senang dan infinit berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UUP pasal 1).

2. Sahnya Pernikahan

Tujuannya yaitu sah, apabila dilakukan berdasarkan aturan masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (UUP pasal 2 (1)).

3. Hak da Kewajiban Suami Istri

Hak dan kewajiban suami istri antara lain.
  1. Suami wajib melindungi istrinya dan memperlihatkan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya.
  2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
  3. Jika suami/istri melaksanakan kewajiban masing-masing dapa mengajukan somasi kepada pengadilan (UUP Ps 34).

4. Larangan Pernikahan

Pernikahn di larang antara dua orang yang:
  1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun faktor.
  2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, dengan saudara orang renta dan antara seorang dengan saudara neneknya.
  3. Berhubungan saudara yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri.
  4. Berhubungan susuan yaitu orang renta susuan, anak susuan, saudara, sudan, dan bibi/paman susuan.
  5. Berhubungan dengan istri/sebagai bibi/kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
  6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya/perbuatan lain yang berlaku tidak boleh nikah (UUP pasal 8).

5. Putusan Pernikahan

Adanya putusan pernikahan ada 3 yakni:
  1. Kematian
  2. Perceraian
  3. Atas keputusan pengadilan (UUP pasal 38)

6. Larangan Pernikahan Menurut KHI Pasal 39:1

a. Pertalian Nasab

  1. Dengan seorang perempuan yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya (ibu).
  2. Dengan seorang perempuan keturunan ayah atau ibu (anaknya ayah atau anaknya ibu).
  3. Dengan saudara perempuan yang melahirkan (bibi dari pihak ibu).

b. Karena Pertalian Kerabat Semenda

  1. Dengan seorang perempuan yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya (mertua).
  2. Dengan seorang perempuan bekas istri orang yang menurunkannya (bekas istri ayah).
  3. Dengan seorang perempuan keturunan istri atau bekas istrinya (anaknya istri), kecuali putusnya hubungan pernikahan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul.
  4. Dengan seorang perempuan bekas istri keturunannya (bekas istri anaknya).

c. Karena Pertalian Susuan

  1. Dengan perempuan yang menyusuinya dan seterusnya berdasarkan garis ke atas.
  2. Dengan seorang perempuan sesusuan dan seterusnya berdasarkan garis lurus ke bawah.
  3. Dengan seorang perempuan saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah.
  4. Dengan seorang perempuan bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
  5. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Pasal 40 KHI, tidak boleh melangsungkan pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan alasannya yaitu keadaan tertentu:
  1. Karena perempuan yang bersangkutan masih terikat satu pernikahan dengan laki-laki lain.
  2. Seorang perempuan yang masih berada dalam masa iddah dengan laki-laki lain.
  3. Seorang perempuan yang tidak beragama islam.

7. Putusnya Pernikahan

Pasal 113 KHI, pernikahan sanggup putus karena: kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Pasal 116 KHI, perceraian sanggup terjadi alasannya yaitu alasan atau alasan-alasan:
  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemab*k, pemadat, penj*di, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau alasannya yaitu hal lain di luar kemampuannya.
  3. Salah satu pihak menerima eksekusi penjara 5 (lima) tahun atau eksekusi yang lebih berat sehabis pernikahan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melaksanakan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
  5. Salah satu pihak menerima cacat tubuh atau penyakit dengan jawaban tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  6. Antara suami atau istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada cita-cita akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar taklik talak.
  8. Peralihan agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakrukunan dalam rumah tangga,

Menurut jumlahnya talak dibagi menjadi 2, yaitu:
  1. Talak raj'i yaitu talak ke satu dan kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. (Pasal 116 KHI).
  2. Talak ba'in nirwana yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh ijab kabul  baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah (Pasal 119 ayat (1) KHI).
  3. Talak ba'in kubra yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak sanggup dirujuk dan tidak sanggup dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan sehabis bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.

Yang termasuk talak ba'in sugra, yaitu (Pasal 119 ayat (2) KHI):
  1. Talak yang terjadi qabla ad-dukhul.
  2. Talak dengan tebusan (khuluk).
  3. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Menurut tidak boleh atau tidaknya, talak juga dibagi 2 (dua) yaitu:
  1. Talak sunny yaitu talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. (Pasal 121 KHI).
  2. Talak bid'i yaitu talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. (Pasal 122 KHI).

8. Akibat Putusnya Pernikahan

Pasal 149 KHI, bilamana pernikahan putus alasannya yaitu talak maka bekas suami wajib:
  1. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang atau benda, kecuali jikalau istri tersebut qabla ad-dukhul.
  2. Memberi nafkah maskan dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyu dan dalam keadaan tidak hamil.
  3. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla ad-dukhul.
  4. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun/

Berikut ini isi Pasal 153 KHI:
  1. Bila seorang istri yang putus pernikahan berlalu waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla ad-dukhul dan pernikahannya putus bukan alasannya yaitu kematian suami.
  2. Waktu tunggu bagi janda ditentukan sebagai berikut: a). Apabila pernikahan putus alasannya yaitu kematian walaupun qabla ad-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh hari). b). Apabila pernikahan putus alasannya yaitu perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari. c). Apabila pernikahan putus alasannya yaitu kematian, sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan hingga melahirkan.
  3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus pernikahan alasannya yaitu perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla ad-dukhul.

Nah itu lah pembahasan wacana Ketentuan Pernikahan Menurut Perundang-Undangan di Indonesia, biar pembahasan ini bisa menambah wawasan dan membantu teman-teman untuk memudahkan pembelajaran.

Belum ada Komentar untuk "√ Ketentuan Janji Nikah Berdasarkan Perundang-Undangan Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel